Pekan lalu, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggelar rapat pleno penyusunan draf Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebelumnya RUU itu dikenal dengan nama Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang pembahasannya sudah memakan waktu lima tahun. Setelah dinanti cukup lama, akhirnya tak hanya nama yang berubah tapi beberapa pasal juga menghilang dari draf sebelumnya. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) melalui website-nya, menyoroti ketentuan yang 'hilang' dan 'kurang' sehingga mengakibatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum.
Diantaranya, diubahnya istilah tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual dalam draf RUU PKS BALEG DPR-RI menyempitkan definisi atas tindak pidana perkosaan. Konsekuensi logis bahwa pengubahan nomenklatur ini juga mempersulit korban perkosaan karena pembuktian terbatas pada pembuktian fisik akibat tindakan penetrasi alat kelamin. Selain itu draf baru pun tak memuat tindak pidana kekerasan berbasis gender online (KGBO). Padahal ini menjadi bentuk kekerasan seksual yang paling marak hari ini.
Mengapa sejumlah pasal direduksi? Apa bisa UU ini nanti menjawab perkembangan zaman? Apa konsekuensi yang akan ditimbulkan? Kita cari tahu lebih lanjut bersama Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya dan Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (KOMPAKS) Naila Rizqi Zakiah.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id