Suatu ketika saya bertanya kepada penulis pujaan saya, Pak Cik Andrea Hirata, buku apa yang tengah ia baca. Dalam sebuah video singkat yang ia pajang di akun instagramnya untuk menyemangati kami, para fans di masa wabah ini terlihat ia tengah membaca sebuah buku tebal dan ada setumpuk buku lain di sampingnya. I couldn't help to ask. Pak Cik dengan hangat segera menjawab bahwa ia sedang membaca berbagai antologi cerpen dari penulis-penulis mancanegara dan menyebutkan semua judul buku itu beserta penulis atau editornya. Berbekal referensi darinya, saya mencari buku-buku itu, ingin juga membacanya. Salah satu yang kemudian berhasil saya dapatkan adalah Dear Life karya Alice Munro. Terdapat 14 cerpen di dalamnya dan Dear Life ada pada urutan terakhir. Cerpen ini mungkin lebih tepat disebut sebagai memoar-sepotong memoar penulisnya. Alice berkisah tentang kampung halamannya di sebuah kota kecil di Kanada. Ia bercerita tentang kepindahannya, tentang sekolah, teman, tetangga dan juga tentang keluarganya, terutama ibunya. Masa itu Perang Dunia I sudah berakhir dan mereka memasuki babak baru perang dengan Jerman (Perang Dunia II). Sekelumit saja dan sederhana, namun entah mengapa rasanya mendalam. Alice memang menuliskan ini di saat usianya telah berkepala-8. Mungkin hal itulah yang membuat tulisannya begitu mengena di hati. Buku ini terbit tahun 2012 dan setahun setelahnya, Alice Munro memenangkan Nobel Prize dalam bidang Literature sebagai seorang maestro dalam penulisan cerpen kontemporer.