Kita terbiasa menganggap "negara gagal" sebagai musibah yang terjadi di tempat-tempat yang jauh—Somalia, Yaman, atau Kongo—seolah-olah itu adalah kondisi alami yang disebabkan oleh geografi yang sial atau budaya yang terbelakang. Ini adalah ilusi yang menenangkan, tetapi sepenuhnya salah. Kegagalan sebuah negara bukanlah kecelakaan; itu adalah sebuah desain. Institusi yang "ekstraktif", seperti yang diungkap oleh Acemoglu dan Robinson, bukanlah produk dari kebodohan, melainkan arsitektur yang sengaja dibangun oleh segelintir elite untuk menyedot kekayaan dari mayoritas. Kemiskinan, korupsi, dan bahkan perang saudara bukanlah gejala kegagalan, melainkan alat-alat yang diperlukan untuk mempertahankan sistem ekstraksi ini. Negara tidak gagal karena miskin; mereka tetap miskin karena institusi mereka dirancang untuk gagal bagi kebanyakan orang agar segelintir orang bisa berhasil secara spektakuler.
Ironi yang lebih besar adalah bahwa spektrum kegagalan ini tidak berhenti di perbatasan negara-negara miskin. Coba lihat negara-negara maju yang sombong dengan "stabilitas" mereka. Ketika birokrasi pusat menjadi begitu "terbebani" dan "terlalu berkuasa" hingga tidak lagi mampu menyediakan layanan dasar, ketika parlemen menjadi stempel karet bagi eksekutif, dan ketika kebijakan publik ditentukan oleh siklus berita 24 jam, bukankah itu juga merupakan bentuk kegagalan? Ini adalah kegagalan yang lebih halus, yang tersembunyi di balik fasad kemakmuran, tetapi akarnya sama: institusi yang secara bertahap berhenti melayani publik dan mulai melayani kepentingan politik dan ekonomi yang sempit. "Negara Gagal" ala Sam Freedman bukanlah kebalikan dari negara ekstraktif; itu adalah evolusi logisnya dalam konteks demokrasi yang terkikis.
Maka, kita harus membuang gagasan nyaman bahwa ada "kita" (negara berhasil) dan "mereka" (negara gagal). Kenyataannya, hanya ada satu pertarungan global yang berkelanjutan: pertarungan antara institusi inklusif yang memberdayakan banyak orang dan institusi ekstraktif yang memperkaya segelintir orang. Kegagalan sebuah negara tidak dimulai dengan tembakan pertama dalam perang saudara, tetapi pada saat pengadilan dapat dibeli, ketika hak milik rakyat biasa tidak aman, dan ketika suara warga negara ditenggelamkan oleh kepentingan elite. Dengan standar ini, kegagalan bukanlah fenomena Dunia Ketiga; itu adalah ancaman universal yang sedang menggerogoti dari dalam, baik di Kinshasa maupun di London.