Banyak pihak mulai mempertanyakan arti penting persaingan di dunia perguruan tinggi dalam beberapa waktu terakhir. Ketika dunia kerja semakin tak pasti dan arah pendidikan kerap berubah, menjaga fokus pada capaian akademis terasa bukan lagi perkara mudah.
Percakapan soal ini kian hangat ketika muncul sorotan terhadap fenomena inflasi Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Tak sedikit warganet yang memperbincangkan betapa gampangnya mahasiswa Indonesia saat ini meraih nilai akhir tinggi.
Predikat cum laude, yang dulu hanya disematkan pada mereka yang benar-benar menonjol karena lulus dengan IPK dan masa studi yang bagus, kini terdengar di hampir setiap prosesi wisuda.
Isu ini memunculkan pertanyaan besar: Fenomena sosial apa yang bisa kita pelajari lebih dalam? Apakah mahasiswa diuntungkan atau justru ini akan memberatkan mereka dalam mencari pekerjaan setelah lulus?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas topik ini bersama Senza Arsendy, mahasiswa doktoral dari The University Of Melbourne, Australia.
Senza menganggap tren ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, mulai dari peningkatan keterampilan akademis individu, dinamika sosial, hingga neoliberalisme pendidikan. Ia juga menekankan bahwa gejala inflasi nilai ini tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi, tetapi juga mulai terlihat di tingkat sekolah yang lebih rendah.
Ia melihat fenomena ini juga erat kaitannya dengan komersialisasi pendidikan yang semakin marak. Di tengah pendidikan tinggi yang semakin mahal, Senza menganggap ada logika yang dianggap wajar oleh mahasiswa dan orang tua. Biaya kuliah yang tinggi dianggap berbanding lurus dengan IPK tinggi sebagai bentuk timbal balik dari uang yang dikeluarkan.
Senza juga melihat persaingan di pasar kerja menjadi penyebab mengapa fenomena inflasi IPK ini muncul. Kompetisi di pasar kerja yang semakin sulit membuat banyak mahasiswa berlomba untuk mendapatkan IPK bagus. Di sisi lain, pemberi kerja melihat situasi ini menguntungkan untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas tinggi dan melimpahnya ketersediaan tenaga kerja yang siap bergabung.
Realitanya, saat ini perusahaan menuntut lulusan untuk memiliki kualifikasi yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Saat ini, IPK tinggi saja tidak cukup untuk menjamin peluang kerja yang baik.
Banyak pemberi kerja saat ini mensyaratkan kualifikasi tambahan, seperti pengalaman kerja, kemampuan berbahasa asing, dan keterampilan teknis tertentu. Bahkan, dalam beberapa kasus, jejaring profesional atau koneksi juga memengaruhi peluang seseorang untuk diterima bekerja.
Kondisi ini menambah tekanan bagi mahasiswa untuk terus meningkatkan kompetensi mereka, yang tidak jarang berujung pada stres dan kecemasan menghadapi masa depan.
Senza berpendapat, perlu ada pembahasan multi-sektoral dari pihak universitas, pemberi kerja, hingga pemerintah untuk merumuskan strategi yang dapat menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan riil pasar tenaga kerja.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.